Bila Anda diminta memilih daging bebek yang tampak segar
padahal berformalin dan daging bebek yang diawetkan dengan pembekuan, tentu
Anda memilih yang kedua. Sebab, biasanya, bebek beku itu bebas bahan beracun.
“Empat jam setelah dipotong, tanpa pengawet, daging bebek
mulai membusuk. Salah satu cara mengawetkan yang manusiawi adalah dengan
didinginkan (dibekukan, Red.),” ungkap Drh. Hari Wiyoso Tri Kuncoro, pengusaha daging bebek beku di Cinere,
Depok, Jabar. Berjualan bebek setelah dipotong dalam volume besar, lanjut dia,
tidak mungkin sekaligus habis. Oleh sebab itu, sisanya harus dibekukan.
Sebelumnya, Hari mengaku berjualan daging bebek segar.
Kelemahannya, daging bebek hasil pemotongan pukul enam pagi, empat jam kemudian
sudah kelihatan menghijau. Atas dasar itu pula, dia beralih jualan daging bebek
beku.
Menurut Hari, di pasar, boleh dibilang 80% daging bebek yang
dijual segar, menggunakan formalin sebagai bahan pengawetnya. Sebenarnya banyak
bahan pengawet, tapi yang paling murah adalah formalin. Tapi jangan salah,
formalin termasuk racun yang paling karsinogenik (menyebabkan kanker).
Hal
senada diutarakan Dr. drh. Denny Widaya Lukman, MSi, ahli dan Dosen Kesehatan
Masyarakat Veteriner Fakultas Kedokteran Hewan IPB. “Bagaimana pun hewan yang
sudah dipotong seperti kambing, domba, sapi, juga unggas, (karkas) itu harus
dipertahankan dengan rantai dingin. Artinya, dia harus dipertahankan kondisinya
di bawah 4oC. Oke, ada orang mengatakan 7oC,” paparnya.
Masa
simpan daging bebek di suhu kamar (tempat terbuka) tanpa adanya penambahan
bahan-bahan yang aneh, lanjut Denny, paling lama 5—6 jam sudah bau. Kalau ada
daging bebek pada suhu kamar bisa tahan lebih dari 6 jam, dirinya curiga daging
itu dikasih bahan pengawet. Soalnya, lebih dari itu biasanya daging bebek sudah
tidak bagus karena kuman berkembang setiap 15 menit. “Kalau pada daging bebek
itu hanya mengandung satu kuman, terutama bakteri, maka dalam waktu lebih dari
lima jam bisa mencapai lebih dari satu juta bakteri. Padahal, jumlah bakteri
pada unggas yang baru dipotong nggak
mungkin hanya satu sel. Bisa dibayangkan berapa juta jumlah bakterinya bila
tanpa ada perlakuan. “Kalau ada pedagang yang mengklaim daging unggasnya
steril, bohong itu! Nggak mungkin!,”
tandasnya.
Denny
tidak menampik daging bebek yang sudah melewati rantai dingin (dibekukan) itu
tidak bebas bakteri. “Bakterinya ada, tapi tidak berkembang,” jelasnya. Dan
selama penanganannya baik, yaitu mengikuti kaidah-kaidah sanitasi, lanjut dia,
maka kuman itu tidak bertambah. Penanganannya, misalnya karkas terkemas dengan
baik, pada suhu yang konstan, dan tidak terpapar suhu di atas 10oC.
Perubahan suhu yang terlalu ekstrem juga akan mempengaruhi kandungan
kuman-kuman dalam daging unggas. Di atas 10oC beberapa jenis kuman
sudah mulai tumbuh. Sudah bisa Anda bayangkan bagaimana daging bebek segar yang
dijajakan berjam-jam terbuka di pasar-pasar tradisional. “Para ahli kesehatan
pangan menganjurkan menyimpan makanan di bawah 4oC atau di atas 60oC,”
saran Denny.
Kandungan Gizi Tetap
Benarkah
daging bebek beku lebih sehat dibandingkan daging bebek segar? “Daging bebek segar (tanpa pengawet) dan bebek beku sebetulnya sama
sehatnya,” tukas Suharyati, SKM, MKM, Kepala Unit Produksi Makanan RSCM dan
Kepala Instalasi Gizi RSCM, Jakarta.
Bebek beku itu, menurut Suharyati, intinya tidak mematikan
kuman, tapi menonaktifkan kuman. Karena pada suhu tertentu, khususnya pada
-18ÂșC, kuman dinonaktifkan oleh keadaan suhu yang sangat rendah.
Menurut Ir. Hasanuddin Yasni, MM, Direktur Eksekutif Asosiasi Rantai
Pendingin Indonesia, suhu yang disarankan untuk membekukan produk unggas adalah
-4oC sampai dengan -12oC. Tapi orang sering sering
mencampurnya dengan produk perikanan yang -18oC karena memang
logistik khusus bebek di Indonesia masih minim. “Kelemahan produk unggas yang
dibekukan adalah dari tekstur dagingnya menjadi lebih keras,” ucapnya.
Meski begitu, “Bebek beku bisa bertahan sampai tahunan. Pada
suhu -18oC, karkas utuh
bertahan hingga 12 bulan. Sedangkan yang sudah dipotong-potong, bertahan sampai
9 bulan,” paparnya. “Sebenarnya, bebek beku bisa tahan sampai 1,5 tahun,” imbuh
Hari.
Lantas, bila bebek beku itu dicairkan, apakah kumannya akan
berkembang lagi? Proses pencairan (thawing)
bertujuan untuk melembekkan daging bebek sebelum dimasak. “Proses pelembekan
sebaiknya dilakukan dalam refrigerator
(kulkas) atau dalam microwave di mode refrost,”
ucap Suharyati. Namun bukan berarti secara manual tidak bisa. Pencairan bisa
juga dilakukan pada air mengalir (keran) yang dingin, bukan dengan air panas.
“Kalau setelah proses thawing daging bebek
tidak segera dimasak, kumannya akan berkembang lagi,” imbuhnya.
Meskipun dibekukan, sesungguhnya nutrisi (gizi) daging bebek
tidak berubah. “Gizi, terutama vitamin, akan turun pada saat suhu
dipanaskan,” ucap Denny. Tujuan utama pembekuan, tambah Suharyati, bertujuan
lebih untuk mempertahankan umur simpan. Sementara kehilangan nutrisi, lantaran
sangat kecil, sesuai laporan USDA, dapat diabaikan.
Sementara
menurut pendapat Hari, penurunan nutrisi pada bebek yang dibekukan pasti ada.
Oleh sebab itu, untuk memperlambat penurunan
itu, perlakuannya harus benar. “Kalau penyimpanan masih dalam hitungan satu
minggu, saya kira tidak akan ada penurunan nutrisi. Sebaliknya, dalam hitungan
tahun, sudah pasti ada penurunan nutrisi dan rasa daging. Namun, tidak mungkin
penjual menyimpan hingga satu tahun,” paparnya.
Ada Keraguan
Yang
jelas, “Bebek beku atau bebek segar, itu pilihan. Tapi, sebaiknya daging bebek
segar tidak dibiarkan terlalu lama di suhu ruang. Sebaiknya bebek yang baru
dipotong langsung diolah,” saran Suharyati. Daging bebek yang baik dan layak
konsumsi, secara kasat mata, dicirikan oleh fisiknya yang tidak berbau, tidak
berwarna biru/hijau, dan dagingnya kenyal.
Berbeda dengan negara maju, hingga kini mayoritas konsumen bebek
di Tanah Air lebih memilih daging bebek segar yang baru beberapa saat dipotong.
“Setahu saya, konsumen lebih senang membeli bebek hidup, lalu dipotong dan
disaksikan langsung,” ungkap Abdul Hadi, pedagang bebek potong hidup di Pasar
Blok A, Jakarta Selatan. Dia mengaku pernah mencoba menjajakan bebek yang sudah
dipotong terlebih dahulu, tapi ternyata tidak disukai konsumen. Pembeli
mengira, itu bebek tiren (mati kemarin)atau berformalin.
Kenyataan itu dibenarkan Abdusomad, pedagang bebek potong
hidup di Pasar Mayestik, Jakarta Selatan. “Terhadap bebek beku, konsumen
mengaku tidak tahu cara memotongnya. Mereka ragu daging bebek itu halal atau
tidak,” ucapnya. “Memang, pembeli lebih memilih bebek hidup langsung potong.
Kalau nggak lihat motongnya, mereka nggak mau beli,” Saritun, pedagang bebek
potong hidup di Pasar Cipete Selatan, Jakarta Selatan, membenarkan.
Pengakuan para pedagang diamini langsung oleh konsumen. Ellen
Suwoto (35) misalnya, selama berbisnis katering di Matraman Dalam, Jakarta
Timur, mengaku selalu membeli bebek segar langsung dari pasar dan langsung
dimasak. “Bebek segar dagingnya bagus dan sudah terjamin halal. Karena saya
punya langganan, saya tahu bagaimana proses pemotongannya dari awal, jadi sudah
yakin,” kilahnya.
Pun diakui oleh Nani Haryadi (48) yang PNS dan Maryati
(45)-ibu rumah tangga, saat ditemui di Pasar Ujung Menteng, Jakarta Timur.
“Saya yakin aja karena melihat sendiri bebeknya dipotong, jadi masih baru,
bukan bebek yang sudah nggak segar
lagi,” aku Nani. “Saya sudah lama berlangganan bebek di sini (Ujung Menteng)
dan tidak pernah ada keluhan. Saya sudah kenal penjualnya dan yakin kalau bebek
ini bagus,” imbuh Maryati.
Tak hanya itu, Nani bahkan yakin daging bebek yang dia beli
terjamin kebersihannya karena dia melihat sendiri bebek dibersihkan dan dicuci.
Demikian pula keyakinan Maryati. Atas alasan itu pula kedua konsumen itu tidak
memilih bebek beku. “Saya ragu bebek beku yang dijual itu bebek potong segar
yang dibekukan. Takutnya bebek itu tidak terjamin halal, dan kalau rusak ‘kan nggak kelihatan,” dalihnya. “Saya tidak
yakin bebek beku yang dijual itu dalam kondisi baik sebelum dibekukan. Lagi
pula ‘kan belum pasti halal,” imbuh Maryati.
Namun, tidak demikian bagi Riyanti Rizal (42), pemilik kios
sate bebek di kawasan Harapan Indah Bekasi, Jabar, yang sudah berjualan sejak
1998. “Sebenarnya saya lebih sering menggunakan bebek segar, tapi beberapa
minggu lalu mencoba menggunakan bebek beku. Ternyata cara memasak dan rasa
dagingnya sama saja,” tuturnya. Perbedaannya, lanjut dia, sebelum diolah harus
diproses dulu (dicairkan) dan itu memakan waktu cukup lama.
“Secara umum, konsumen masih lebih percaya pada daging segar karena secara
psikologis mereka lebih mantap membeli bebek yang secara langsung mereka
melihat sendiri prosesi penyembelihannya. Padahal, seluruh rumah potong bebek
(RPA) sudah mengantongi sertifikasi halal dari LPPOM MUI,” papar Wiwik
Sugianti, pemilik Wirabumi PS, produsen bebek segar dan beku di Sleman,
Yogyakarta. Awalnya, lanjut dia, konsumen enggan membeli daging bebek beku,
namun pelan-pelan mereka mau juga. Termasuk tetangganya yang jadi dokter dan
perawat.
Tidak Gampang
Konsumen lebih memilih daging bebek yang baru dipotong,
sah-sah saja. Namun alangkah bijak bila konsumen ikut juga terlibat memikirkan
bagaimana menata pasar tradisional menjadi bersih dan nyaman. Sebab, secara
umum, pemotongan bebek di pasar-pasar tradisional mengabaikan persoalan limbah
dan pencemaran. Menurut Achmad Dawami, Senior Vice President PT Primatama Karya
Persada, produsen besar bebek potong di Jakarta, dari setiap pemotongan bebek
itu sekitar 8%—10% menghasilkan limbah berupa darah dan bulu.
Oleh sebab itu, Suherman, Supervisor Pasar Pondok Labu dan
Cipete Selatan, berharap, pemotongan bebek di pasar-pasar bisa dilokalisasi.
Alhasil, pasar bisa bersih, rapi, dan nyaman bagi pembeli. “Memang mengubah mindset (pola pikir) seseorang itu tidak
gampang, perlu proses, mungkin sekian hari bahkan berbulan-bulan,” keluhnya.
Menurut Siti Adiprigandari Adiwoso Suprapto, MSc., Ph.D.,
peneliti yang juga dosen di Universitas Indonesia, minat konsumen terhadap
produk bebek lebih ditentukan oleh kebiasaan si konsumen itu sendiri. Konsumen
lebih suka bebek yang memang potong di tempat karena asumsinya sama seperti
sayuran, lebih segar. Kalau dibekukan, ada anggapan bahwa ini tidak segar lagi
karena mereka tidak bisa menyaksikan apakah itu dipotong secara halal atau
tidak. “Persoalannya adalah persepsi dan anggapan kalau yang segar itu lebih baik,
dan something frozen pasti akan ada
sesuatu yang hilang,” papar Riga, sapaan akrabnya. Mengubah sifat dan kebiasaan
konsumen, lanjut dia, itu sulit. Kita harus bisa mempelajari kesukaan konsumen,
lalu dengan preferensi seperti itu bisa dilakukan modifikasi.
Disadur dari tulisan
Dadang WI, Selamet R., Tri Mardi, Renda
D., Ridwan H., Peni SP, Ryan M. (Yogyakarta)
Judul asli “ Daging Ayam Beku Lebih Aman “
http://www.agrina-online.com/redesign2.php?rid=7&aid=2324